Letaknya yang secara geokultur berada di perlintasan dua kebudayaan besar membuat masyarakat di
Cirebon, Indramayu, dan (sebagian)
Majalengka (Ciayumaja) memiliki dua bahasa ibu. Perjalanan sejarahnya yang panjang kemudian membentuk peta kebudayaan yang mencerminkan adanya tarik-menarik pengaruh di antara dua kebudayaan besar tadi.
Yang dimaksud dua kebudayaan besar itu ialah Sunda di sebelah barat dan selatan, serta Jawa di sebelah timur dan utara. Pengaruh Sunda, dalam sejarahnya lebih bersifat politis karena Cirebon (Ciayumaja) dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan (geopolitik) kerajaan-kerajaan Buddha-Hindu Kuno seperti Galuh,
Pajajaran, dan
Sumedang Larang.
Sementara pengaruh Jawa, lebih bersifat kebudayaan (geokultur) melalui interaksi sosial yang terbentuk karena letak geografis pesisir pantura yang strategis sebagai sentra perdagangan. Masuknya Islam pada abad ke-15 sampai ke-16, di antaranya lewat syiar Islam
Sunan Gunung Djati yang menggunakan bahasa Jawa, seolah makin mempertegas pengaruh Jawa secara kebudayaan di wilayah tersebut.
Tarik-menarik di antara dua kebudayaan besar tadi, dalam perjalanannya, kemudian menghasilkan suatu kebudayaan tersendiri, yakni apa yang sampai sekarang disebut dengan kebudayaan Cirebon. Dari sisi kebahasaan, masyarakat yang berdiam di Ciayumaja, sampai sekarang lalu mengenal dua bahasa ibu (dwibahasa), yakni Sunda dan Jawa.
![bahasa-jawa-cerbon-dermayon bahasa-jawa-cerbon-dermayon](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_tmOUqt2p9R0WWJbHbIczmxxPNoZNnzEgq43FrTDtKvytTpOoVHUxl44u3xeUdTiVa_3qDfJoTL0il6tbPXwYLXlbZIdP63dooyjcM5AgEXm4OZ3tnsTRlxa3QaZMCnlSnBpS28hw=s0-d)
Dari sisi kebahasaan (bahasa ibu) tadi, terbentuk pula peta dua bahasa yang bila merunut lewat kronologi sejarah atau proses terbentuknya konstruksi sosiologis dan antropologis masyarakatnya, menggambarkan intensitas pengaruh dari dua kebudayaan besar tadi (Sunda dan Jawa). Dalam konteks kewilayahan secara administratif kenegaraan masa sekarang, di antara lima daerah, yakni Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, serta Kuningan (Ciayumajakuning), hanya masyarakat Kuningan yang bahasa ibunya sama dengan daerah Pasundan umumnya, yakni bahasa Sunda. Empat daerah lainnya, yakni Ciayumaja, mengenal dua bahasa ibu, Sunda dan Jawa.
Akibat tarik-menarik pengaruh tadi, terbentuk entitas kebudayaan tersendiri yang disebut kebudayaan Cirebon. Dari segi bahasa, juga kemudian membentuk bahasa tersendiri, yakni yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai
Sunda Cirebon atau juga Jawa Cirebon.